Dalam kapasitas praktisi komunikasi dan analisis pemasaran
politik, saya bersama Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi
Kurnia Syah diminta radio MNC Trijaya untuk menjadi komentator debat cawapres
yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Jumat 22 Desember
2023. Acara ini selain disiarkan melalui jaringan radio MNC Trijaya juga
disiarkan melalui kanal Youtube iNews. Sebelum kami mengudara, saya ditanya mengenai
bagaimana debat yang sesaat lagi akan dimulai. Saya katakan, ketiga kandidat
ini adalah orang-orang yang sudah terbiasa berbicara di hadapan publik,
seharusnya dari sudut public speaking tidak ada yang mengalami kesulitan.
Apalagi mereka pasti punya tim coaching yang membantu persiapan. Justru
tantangannya adalah pada pesan yang akan disampaikan dan antisipasi pertanyaan dari
panelis dan kandidat lain.
Acara debat yang berlangsung sebanyak 6 segmen berjalan
dengan lancar. Berbagai kejutan muncul dalam debat yang ditunggu-tunggu ini.
Debat bukan sekadar pertarungan kemampuan public speaking, tetapi juga
gaya komunikasi politik masing-masing kandidat. Muhaimin tampil jenaka dengan
istilah slepet yang diformulasikan menjadi slepetnomics. Gibran
bagaikan striker muda yang mencoba menunjukan kemampuan menggiring bola
dengan gaya menyerang. Sedangkan Mahfud MD tampil tenang berwibawa dengan lebih
fokus pada substansi. Sepanjang debat berlangsung media sosial ramai dengan
komentar warganet yang mendukung masing-masing kandidat. Potongan-potongan
video debat dengan berbagai keterangan berseliweran dengan sangat cepat di
media sosial. Analisis tren positif, negatif, hingga netral terhadap
masing-masing kandidat di media sosial bermunculan. Sejalan dengan yang
diungkapkan Reveilhac (2023) gaya komunikasi politik terbukti berperan dalam
memicu keterlibatan publik di media sosial.
Sebelumnya, menjelang debat pertama capres pada Selasa 12
Desember 2023 berbagai pendapat muncul di media tradisional, media sosial, dan
grup percakapan bahwa debat tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap
elektabilatas capres-cawapres. Pendapat ini tidak salah jika mengacu kepada hasil
penelitian beberapa tahun lalu. Perkembangan infrastruktur komunikasi dengan
jaringan internet yang luas serta pemilik telepon pintar berdasarkan data Kementerian
Komunikasi dan Informatika sebanyak 167 juta atau sebanding dengan 89% dari
total penduduk Indonesia membuat hasil penelitian beberapa tahun lalu yang
menyebut minimnya pengaruh debat ini perlu dikaji ulang. Rekaman debat berada
dalam genggaman yang bisa dikaji dan ditelaah setiap waktu oleh calon pemilih
khususnya pemilih mengambang (swing voters). Para pembuat konten yang
berpihak kepada masing-masing kandidat pun memahami ini sehingga walau debat
sudah berakhir, tren kontennya masih bisa bertahan berhari-hari.
Ada hal menarik yang disampaikan oleh Karlsen dan Enjolras
(2016) seperti yang dikutip Reveilhac (2013) bahwa pesan-pesan aktor politik di
media sosial tidak hanya dapat dilihat oleh pengguna lain (pengikut atau
pengguna yang tertarik dengan politik), tetapi juga dilihat oleh nonpengguna
melalui saluran media tradisional. Saya mengembangkan gagasan ini dengan mengatakan
bukan hanya pesan-pesan aktor politik, tetapi juga perilaku aktor politik yang
terekam media sosial bisa berkembang menjadi pemberitaan yang tersebar melalui media
tradisional. Sebagai contoh, pascadebat cawapres saya melihat sebuah video yang
tersebar dalam sebuah grup percakapan yang berisi capres Prabowo yang ikut
menyaksikan debat cawapres secara langsung memanggil Menteri Investasi Bahlil
Lahadalia. Ketika Bahlil mendekat,
terlihat Prabowo menarik jaket Bahlil sambil mengucapkan sesuatu kepada Bahlil.
Video ini kemudian viral lalu, menjadi pemberitaan sejumlah media nasional.
Tercatat Detik.com menurunkan berita tersebut dengan judul, “Viral Prabowo Tarik Bahlil Saat Debat
Cawapres, Begini Faktanya” dan Tempo.co “Beredar
Video Prabowo Tarik Jas Bahlil, TKN: Wong Mereka Ketawa, Kok Dibilang
Kekerasan.” Sementara Kompas.com memberi judul, “Ditarik Prabowo saat Debat
Cawapres, Menteri Bahlil Kaget Narasi Dikasari Prabowo.”
Sulit untuk menentukan siapakah yang lebih unggul pada pada debat
pilpres pertama yang menampilkan para capres serta debat kedua yang menampilkan
para cawapres. Tidak ada keunggulan mutlak karena debat ini tidak dinilai oleh
juri yang memiliki wewenang menentukan pemenang. Pemenang debat ditentukan oleh
masing-masing pemilih. Saya beranggapan bahwa di era sekarang kemenangan debat
tidak hanya ditentukan pada saat debat berlangsung namun terus bergulir hingga
debat telah selesai. Debat pilpres memberikan amunisi untuk para pendukung
berdebat di media sosial untuk mempersuasi dan memengaruhi pengguna media
sosial. Ripolles, Olivella & Franch (2017) mengutip Enli (2017) yang
menyebutkan media sosial memiliki dampak agenda setting. Hal ini dapat
dipahami bahwa berbagai komentar debat pilpres yang bertebaran di media sosial
yang bahkan dilengkapi dengan foto maupun video bukan sekadar kiriman dari
warganet biasa. Namun itu bisa saja bagian dari agenda setting untuk
saling menempatkan kandidat masing-masing pada peringkat atas.