Revolusi
dimulai dari panggung, itulah yang menjadi judul resolusi saya untuk tahun
2014. Ini sekaligus jawaban saya terhadap kegelisahan masyarakat terhadap
tayangan televisi. Tidak semua tayangan televisi itu buruk, ada juga yang
baik. Hanya saja karena tayangan yang menggelisahkan masyarakat ini berada pada
jam utama dan dimainkan oleh artis dan komedian terkenal sehingga menarik perhatian.
Sebagai
pelaku di industry tv dan komedian, kurang pas jika saya ikut memberikan
komentar dan penilaian terhadap tayangan-tayangan tersebut. Apalagi sebagian
besar tayangan yang menjadi sorotan itu bergenre komedi.
Tidak
bisa sepenuhnya menyalahkan pemain-pemain yang terlibat dalam tayangan tersebut
karena sesungguhnya yang memegang kontrol adalah stasiun televisi. Pemain
hanya memainkan peran mereka sesuai dengan order yang telah ditulis dalam
naskah atau sesuai dengan arahan penata laku atau tim kreatif. Dengan memegang
azas memenuhi tuntutan peran, maka komedian tidak keberatan kalau wajahnya
ditimpuk pakai tepung.
Pihak
televisi
sendiri dalam membuat konsep kreatif biasanya berpegang pada tuntutan
rating. Bagi mereka jika membuat sesuatu yang mudah bisa menghasilkan
rating yang tinggi buat apa bersusah payah membuat program harus
memenuhi unsur mendidik. Udah susah mikirin konsepnya, ratingnya belum
tentu bagus.
Suatu kali saya melakukan presentasi program komedi dihadapan tim
produksi dan kreatif sebuah televisi hiburan swasta nasional. Diujung
presentasi manager produksinya berkata “mas Iwel, komedi yang disukai
masyarakat itu bukan verbal kayak stand up comedy, tapi komedi visual”
Pernyataan
ini membuat saya bertanya dalam hati “apakah penonton Indonesia mengalami
kemunduran?” Tayangan komedi yang pernah populer dinegeri ini tahun 90-an adalah
tayangan komedi yang mengedepankan komedi verbal seperti Lenong Rumpi, Keluarga Van Danoe, Bagito Show dan Ngelaba.
Bahkan kelompok lawak Cagur diawal pemunculan mereka melalui program Chating juga
mengedapankan komedi verbal. Ketroprak humor yang dipopulerkan oleh pelawak
Timbul dan kawan-kawan juga mengedepankan komedi verbal dengan gaya pemain masing-masing. Komedi visual hanya
bumbu, itupun dimainkan dalam batas-batas tertentu.
Tokoh-tokoh
seperti Chairul Tanjung, Hary Tanoe, Aburizal Bakrie dan pemilik Indosiar-SCTV
seharusnya bisa ikut memiliki peran penting dalam ikut memperbaiki
tayangan-tayang televisi menjadi tayangan yang sesuai dengan cita-cita pendiri
bangsa ini yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka adalah pemilik stasiun televisi
hiburan, sebagai pemilik tentu mereka memiliki kekuatan yang luar biasa ikut
berperan dalam menyuguhkan tayangan yang berkualitas kepada pemirsa.
Saya
sendiri, sebagai komedian pergerakan mempunyai prinsip lebih baik berbuat
daripada hanya sekadar ikut berkomentar. Saya mengutip ucapan Adlai Stevenson “lebih
baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan” Itulah sebabnya lahir
pemikiran resolusi untuk tahun 2014 adalah "revolusi dimulai dari
panggung"
Arti revolusi dimulai dari panggung adalah, disaat kesempatan untuk memiliki tayangan yang baik ditelevisi belum muncul maka saya tidak akan menyerah. Saya masih bisa membuat panggung-panggung lain, seperti halnya dulu pertama kali saya melakukan pementasan stand up comedy 6 Maret 2004. Itu saya lakukan disaat stand up comedy belum mendapatkan ruang dimana-mana.
Arti revolusi dimulai dari panggung adalah, disaat kesempatan untuk memiliki tayangan yang baik ditelevisi belum muncul maka saya tidak akan menyerah. Saya masih bisa membuat panggung-panggung lain, seperti halnya dulu pertama kali saya melakukan pementasan stand up comedy 6 Maret 2004. Itu saya lakukan disaat stand up comedy belum mendapatkan ruang dimana-mana.
Hal
lain munculnya istilah revolusi dimulai dari panggung adalah, saya terinpirasi
ketika pak Teguh melahirkan Srimulat atau Bing Slamet dan seniman komedi
lainnya memulai semua dari panggung. Selama tahun 2013 pentas stand up comedy
yang dilakukan oleh Pandji, Ernest Prakasa dan sejumlah comic lain padat dengan
penonton. Pementasan stand up comedy yang saya lakukan bersama teman-teman
tanggal 21-22 Desember 2013 di Galeri Indonesia Kaya juga penuh dengan
penonton. Ini menunjukan bahwa, masih ada ruang untuk terus bergerak.
Kerinduan
masyarakat terhadap tayangan berkualitas bisa dilihat dari meningkatnya jumlah penonton yang
menonton film-film nasional berkualitas seperti Habibie Ainun, Soekarno, 99 Cahaya Di Langit Eropa, Tengelamnya Kapal Van Der Wijk dan lain-lain.
Panggung-panggung
untuk seniman lokal berkarya harus terus dihidupkan dengan dukungan media
cetak dan media sosial. Ketika pembuktian dipanggung ini terbukti, maka saya
yakin nanti televisi berlomba-lomba kembali menayangkan tayangan televisi
berkualitas. Harus ada yang memulai, saya senang menjadi bagian gerakan ini. Mengutip
ucapan Sutan Syahrir "hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan."