Senin, 30 Desember 2013

Revolusi Dimulai Dari Panggung

Revolusi dimulai dari panggung, itulah yang menjadi judul resolusi saya untuk tahun 2014. Ini sekaligus jawaban saya terhadap kegelisahan masyarakat terhadap tayangan televisi. Tidak semua tayangan televisi itu buruk, ada juga yang baik. Hanya saja karena tayangan yang menggelisahkan masyarakat ini berada pada jam utama dan dimainkan oleh artis dan komedian terkenal sehingga menarik perhatian.

Sebagai pelaku di industry tv dan komedian, kurang pas jika saya ikut memberikan komentar dan penilaian terhadap tayangan-tayangan tersebut. Apalagi sebagian besar tayangan yang menjadi sorotan itu bergenre komedi.

Tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemain-pemain yang terlibat dalam tayangan tersebut karena sesungguhnya yang memegang kontrol adalah stasiun televisi. Pemain hanya memainkan peran mereka sesuai dengan order yang telah ditulis dalam naskah atau sesuai dengan arahan penata laku atau tim kreatif. Dengan memegang azas memenuhi tuntutan peran, maka komedian tidak keberatan kalau wajahnya ditimpuk pakai tepung. 

Pihak televisi sendiri dalam membuat konsep kreatif biasanya berpegang pada tuntutan rating. Bagi mereka jika membuat sesuatu yang mudah bisa menghasilkan rating yang tinggi buat apa bersusah payah membuat program harus memenuhi unsur mendidik. Udah susah mikirin konsepnya, ratingnya belum tentu bagus. 

Suatu kali saya melakukan presentasi program komedi dihadapan tim produksi dan kreatif sebuah televisi hiburan swasta nasional. Diujung presentasi manager produksinya berkata “mas Iwel, komedi yang disukai masyarakat itu bukan verbal kayak stand up comedy, tapi komedi visual”

Pernyataan ini membuat saya bertanya dalam hati “apakah penonton Indonesia mengalami kemunduran?” Tayangan komedi yang pernah populer dinegeri ini tahun 90-an adalah tayangan komedi yang mengedepankan komedi verbal seperti Lenong Rumpi,  Keluarga Van Danoe, Bagito Show dan Ngelaba. Bahkan kelompok lawak Cagur diawal pemunculan mereka melalui program Chating juga mengedapankan komedi verbal. Ketroprak humor yang dipopulerkan oleh pelawak Timbul dan kawan-kawan juga mengedepankan komedi verbal dengan gaya  pemain masing-masing. Komedi visual hanya bumbu, itupun dimainkan dalam batas-batas tertentu.

Tokoh-tokoh seperti Chairul Tanjung, Hary Tanoe, Aburizal Bakrie dan pemilik Indosiar-SCTV seharusnya bisa ikut memiliki peran penting dalam ikut memperbaiki tayangan-tayang televisi menjadi tayangan yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka adalah pemilik stasiun televisi hiburan, sebagai pemilik tentu mereka memiliki kekuatan yang luar biasa ikut berperan dalam menyuguhkan tayangan yang berkualitas kepada pemirsa.

Saya sendiri, sebagai komedian pergerakan mempunyai prinsip lebih baik berbuat daripada hanya sekadar ikut berkomentar. Saya mengutip ucapan Adlai Stevenson “lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan” Itulah sebabnya lahir pemikiran resolusi untuk tahun 2014 adalah "revolusi dimulai dari panggung" 

Arti revolusi dimulai dari panggung adalah, disaat kesempatan untuk memiliki tayangan yang baik ditelevisi belum muncul maka saya tidak akan menyerah. Saya masih bisa membuat panggung-panggung lain, seperti halnya dulu pertama kali saya melakukan pementasan stand up comedy 6 Maret 2004. Itu saya lakukan disaat stand up comedy belum mendapatkan ruang dimana-mana.

Hal lain munculnya istilah revolusi dimulai dari panggung adalah, saya terinpirasi ketika pak Teguh melahirkan Srimulat atau Bing Slamet dan seniman komedi lainnya memulai semua dari panggung. Selama tahun 2013 pentas stand up comedy yang dilakukan oleh Pandji, Ernest Prakasa dan sejumlah comic lain padat dengan penonton. Pementasan stand up comedy yang saya lakukan bersama teman-teman tanggal 21-22 Desember 2013 di Galeri Indonesia Kaya juga penuh dengan penonton. Ini menunjukan bahwa, masih ada ruang untuk terus bergerak. 

Kerinduan masyarakat terhadap tayangan berkualitas bisa dilihat dari meningkatnya jumlah penonton yang menonton film-film nasional berkualitas seperti Habibie Ainun, Soekarno, 99 Cahaya Di Langit Eropa, Tengelamnya Kapal Van Der Wijk dan lain-lain.

Panggung-panggung untuk seniman lokal berkarya harus terus dihidupkan dengan dukungan media cetak dan media sosial. Ketika pembuktian dipanggung ini terbukti, maka saya yakin nanti televisi berlomba-lomba kembali menayangkan tayangan televisi berkualitas. Harus ada yang memulai, saya senang menjadi bagian gerakan ini. Mengutip ucapan Sutan Syahrir "hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan."