Minggu, 15 November 2015

Nasehat S. Bagyo

S.Bagyo
Saya sangat beruntung dalam perjalanan hidup ini saya pernah belajar lawak dari maestro lawak Indonesia S. Bagyo. Tahun 1989 beberapa kali saya datang ke rumah S Bagyo di kawasan Setia Budi Jakarta Selatan. Di kediaman S Bagyo ini sering berkumpul pelawak-pelawak. Mulai dari yang belum terkenal hingga yang terkenal, mulai dari yunior hingga senior. Saya masih ingat disela-sela kesibukannya sebagai pelawak yang sangat ngetop S. Bagyo menyempatkan diri untuk berbincang dengan saya. S. Bagyo sebenarnya agak heran melihat saya yang saat itu baru berusia 16 tahun merantau ke Jakarta untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang pelawak.

"Menjadi pelawak itu bukan hanya sekadar melawak. Selain bisa melawak kamu juga harus bisa membuat materi lawakan," nasehat S Bagyo pada saya saat itu. 

Sesaat kemudian S Bagyo melempar bungkus rokok ke meja sambil berkata "nah, ketika kamu melihat bungkus rokok ini kamu harus bisa menjadikannya materi lawakan. Apa yang lucu dari bungkus rokok ini? apa yang bisa kamu ceritakan tentang bungkus rokok ini yang bisa membuat penonton tertawa? Kalau kamu berdiri dipojok sana sambil melihat bungkus rokok ini maka seharusnya ide yang keluar berbeda ketika kamu melihat dari sudut sini."

Dari S Bagyo saya belajar bahwa pelawak di masa itu tidak hanya sekadar mengandalkan improvisasi dengan mencela lawan main seperti yang banyak dilakukan komedian sekarang ini. Melawak memerlukan proses kreatif dalam usaha membuat orang lain tertawa. Hal ini juga diperkuat oleh pelawak Ateng ketika saya sering berkunjung ke rumahnya di kawasan Gudang Peluru Jakarta Selatan tahun 1996  - 1998. Bahkan Teguh pendiri Srimulat pun mengungkapkan bahwa kekuatan dan kesuksesan Srimulat terletak pada bank naskah yang dimilikinya.

Saya pun pernah mendengar langsung dari S.Bagyo proses beliau mendapatkan ide lawakannya kemudian dibahas bersama rekan satu grupnya Diran, Darto Helm dan Sol Soleh. Pelajaran dari S Bagyo ini sangat bermanfaat dan mempengaruhi karir saya sebagai pelawak. Ini juga yang membuat saya kemudian kesulitan membentuk grup lawak karena banyak rekan saya yang lebih senang memainkan lawakan pengulangan atau bahkan mengambil materi yang sudah pernah dimainkan pelawak senior atau grup lain. 

Ketika kesulitan membentuk grup lawak ini saya ungkapkan kepada S Bagyo, beliau dengan bijak menghibur saya "jangan berkecil hati, saya yakin walau tanpa grup kamu akan jadi pelawak terkenal."

Ketika saya tertarik dengan gaya komedi Jerry Seinfeld dan Bob Hope tahun 1997 dan mengenal istilah stand up comedy tahun 1998 saya merasa inilah model komedi yang pas untuk saya tekuni. Saya sudah terbiasa dengan komedi yang mengandalkan kekuatan naskah dan stand up comedy adalah komedi yang mengandalkan kekuatan naskah.

Pernah di suatu masa saya lelah dengan karir sebagai komedian yang perkembangannya tidak sepesat rekan komedian lain. Selain berdoa kepada Tuhan, hal lain yang memperkuat semangat saya adalah motivasi dari S. Bagyo "saya yakin walau tanpa grup kamu akan jadi pelawak terkenal."